Friday 26 December 2008

Tanam Jagung

Tanam Jagung

Seorang Papua dari Kabupaten Wamena, menulis surat ke anaknya yang ada di penjara Buru karena dituduh terlibat OPM. Bunyinya: "Nemo, bapakmu sudah tua, sekarang sedang musim tanam jagung, dan kamu ditahan di penjara pula, siapa yang mau bantu bapak mencangkul kebun ini?"

Eh, anaknya membalas surat tersebut beberapa minggu kemudian. "Demi Tuhan, jangan cangkul itu kebun, saya tanam senjata di sanam," kata si anak dalam surat tersebut.

Rupanya surat itu disensor pihak rumah tahanan, maka keesokan harinya, datang satu pleton tentara dari Kota Jayapura.

Tanpa banyak bicara mereka segera ke kebun singkong dan sibuk mencangkul tanah di kebun tersebut. Setelah mereka pergi, kembali si bapak tulis surat ke anaknya. "Nemo, setelah bapak terima suratmu, datang satu pleton tentara mencari senjata di kebun jagung kita, namun tanpa hasil. Apa yang harus bapak lakukan sekarang?"

Si anak kembali membalas surat tersebut, "Sekarang bapak mulai menanam jagung aja, kan sudah dicangkul sama tentara, dan jangan lupa ngucapin terimakasih sama mereka." Pihak rumah tahanan yang menyensor surat ini langsung pingsan. (ahm)

Peluru pun Habis

Peluru pun Habis

Ini cerita Gus Dur tentang situasi Rusia tak lama setelah bubarnya Uni Soviet. Sosialisme hancur, dan para birokrat tak punya pengalaman mengelola sistem ekonomi pasar bebas. Di masa sosialisme memang rakyat sering harus antre untuk mendapatkan macam-macam kebutuhan pokok, tapi karena manajemennya jelek, antrean umumnya sangat panjang, dan banyak yang tidak kebagian jatah.

Begitulah, seorang aktivis sosial berkeliling kota Moskow untuk mengamati bagaimana sistem baru itu bekerja. Di sebuah antrean roti, setelah melihat banyaknya orang yang tidak kebagian, aktivis itu menulis di buku catatannya, "Roti habis"

Lalu dia pergi ke antrean bahan bakar. Lebih banyak lagi yang tak kebagian. Dan dia mencatat, "Bahan bakar habis!" Kemudian dia menuju antrean sabun.

Wah, pemerintah kapitalis baru ini betul-betul berengsek. Banyak sekali masyarakat yang tidak kebagian mendapat jatah sabun. Dia menulis besar-besar, "Sabun habis!"

Tanpa dia sadari, rupanya dia diikuti oleh seorang intel KGB. Ketika dia akan meninggalkan antrean sabun itu, si intel menegur.

"Hei bung! Dari tadi kamu sibuk mencatat-catat terus. Apa sih yang kamu catat?"

Sang aktivis menceritakan bahwa dia sedang melakukan penelitian tentang kemampuan pemerintah dalam mendistribusikan barang bagi rakyat.

"Untung kamu ya, sekarang sudah jamar reformasi," ujar sang intel. "Kalau dulu, kamu sudah ditembak."

Sambil melangkah pergi aktivis itu mencatat: "Peluru juga habis!" (ahm)

Hanyutnya Presiden Soeharto

Hanyutnya Presiden Soeharto

Sudah tentu mantan Presiden Soeharto sedikit kebagian sentilan Gus Dur. Ceritanya, suatu hari Pak Harto memancing di sebuah sungai. Bekas orang kuat itu dikenal gemar memancing (dan mungkin bukan cuma ikan saja yang dipancingnya). Saking asyiknya, Pak Harto tidak sadar bahwa air sungai itu meluap, lalu terjadilah banjir besar.

Pak Harto hanyut terbawa arus deras. Selama hanyut itu rupanya dia tak sadarkan diri, dan ketika dia terbangun dia berada jauh dari tempatnya semula. Keadaannya sangat sepi, hanya ada seorang petani, yang rupanya telah menolong Pak Harto.

Merasa berutang budi dan sangat berterimakasih, Pak Harto berkata kepada penolongnya itu.

"Kamu tahu enggak saya ini siapa?" tanya Pak Harto.

"Tidak," jawab si penolong.

"Saya ini Soeharto, Presiden Republik Indonesia."

"Oooh!"

"Nah, karena kamu sudah menolong saya, maka kamu boleh minta apa saja yang kamu mau, pasti saya beri. Ayo katakan saja keinginan kamu."

"Oooh!"

"Jangan ah oh aja. Ayo bilang!" desak Presiden.

"Kalau begitu saya cuma minta satu hal saja, Bapak Presiden," kata sang penolong.

"Ya katakan saja apa itu?" kata Pak Harto.

"Tolong jangan bilang siapa-siapa bahwa saya yang menolong Bapak."

"Diamputtt!" (ahm)

Kaum Almarhum Tak Punya Kepentingan

Kaum Almarhum Tak Punya Kepentingan

Meminta nasihat kepada kiai sepuh atau datang ke makam Walisongo merupakan tradisi lazim di kalangan nahdliyin. Dalam hal ini Gus Dur malah termasuk 'biang'. Misalnya, tak lama setelah dilantik menjadi Presiden pada Oktober 1999, ia langsung berziarah ke makam KH Ahmad Mutamakin, di Pati, Jawa Tengah.

Apalagi ia memang mengaku keturunan KH Mutamakin yang dikenal sebagai penyebar Islam esoteris (batini) yang hidup di zaman Raja Kartasura, Amangkurat IV (1719-1726) dan Pakubuwono II (1726-1749).

Sungguhkah Gus Dur benar-benar percaya pada isyarat dari makam-makam leluhur semacam itu? Kelihatannya dia memang percaya, sebab Gus Dur selalu siap dengan gigih dan sungguh-sungguh membela "ideologinya" ini. Menurut KH Cholil Bisri, setiap memutuskan sesuatu yang penting, Gus Dur lebih banyak datang ke makam para wali ketimbang memohon isyarat kiai sepuh.

Ini sering membikin repot para koleganya di PB NU. Pamannya sendiri, KH Yusuf Hasyim (Pak Ud), termasuk yang paling kerepotan dengan metode pengambilan keputusan ala Gus Dur ini. "Susah berdiskusi dengan Durrahman itu," keluh Pak Ud, di masa Gus Dur menjadi Ketua Umum PB NU.

"Dalam rapat kalau kita tanya apa landasan keputusannya, dia bilang dia dapat ilhamnya dari mimpi atau dari makam...Kita mau bilang apa?

Gus Dur sendiri sudah hapal dan kebal terhadap keberatan semacam itu. Inilah tangkisan standarnya:

"Saya datang ke makam karena saya enggak percaya sama yang hidup. Mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan." (ahm)

mati ngerokok

Mati Ngerokok
Semasa belajar di Mesir, Gus Dur punya teman asal Aceh, namanya Yas. Kamar mereka bersebelahan. Orang ini, tutur Gus Dur, betul-betul perokok berat. Ke mana pun dia pergi, pasti di kantongnya selalu terselip dua bungkus rokok. Satu sudah dibuka, satu lagi buat cadangan.

"Bagi dia, ngerokok itu jangan sampai ketelatan," tutur Gus Dur. "Makanya si Yas selalu bawa dua bungkus."

Saking sayangnya pada temannya ini, Gus Dur menasihatinya, "Yas, apa kamu enggak pernah baca tulisan di majalah bahwa tiap satu batang rokok itu bisa memendekkan umur 30 detik."

"Lho, kamu ini gimana. Sekarang coba kamu itung sudah berapa tahun umurmu diperpendek oleh rokok itu."

Sambil menyulut sebatang lagi, Bung Yas menimpali, "Ya, tapi kalau saya enggak merokok, besok saya bisa mati." (ahm)